Menanamkan Sifat Amanah pada Anak
Menanamkan Sifat Amanah pada Anak ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Pendidikan Anak yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 7 Jumadil Akhir 1446 H / 9 Desember 2024 M.
Kajian Tentang Menanamkan Sifat Amanah pada Anak
Lalu, apakah orang yang tidak amanah memiliki keimanan yang sempurna? Jawabannya adalah belum. Orang yang tidak amanah, termasuk korupsi, tentu imannya tidak sempurna. Bahkan jika ia rajin shalat lima waktu atau haji berkali-kali. Salah satu tanda kesempurnaan keimanan seseorang adalah apakah ia amanah atau tidak.
Ketika kita berbicara tentang korupsi, Indonesia termasuk negara yang memprihatinkan dalam hal ini. Operasi Tangkap Tangan (OTT) seakan tidak pernah berhenti. Ironisnya, Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim. Lebih menyedihkan lagi, terkadang pelaku yang di-OTT adalah mereka yang bergelar haji. Na’udzubillahi min dzalik.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Namun, sekadar mengeluh, mengumpat, atau mem-posting keprihatinan di media sosial tidak akan menyelesaikan masalah. Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan?
Kita harus menjadi bagian dari solusi, khususnya dalam pendidikan antikorupsi. Bagaimana caranya? Meski kita bukan pejabat, jaksa, atau polisi, kita tetap dapat mencegah korupsi sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing, sesuai dengan wewenang yang kita miliki.
Misalnya, sebagai orang tua, kita bisa memulai dengan mendidik anak-anak kita agar memiliki sifat amanah sejak dini. Dengan menanamkan nilai-nilai ini, kita berkontribusi pada upaya mencegah korupsi di masa depan.
Kita semua adalah orang tua. Oleh karena itu, pendidikan antikorupsi yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah mendidik anak-anak agar memiliki sifat antikorupsi sejak dini.
Bagaimana caranya? Dengan menanamkan sifat amanah pada anak. Lalu, apa langkah-langkahnya? Ada tiga langkah yang perlu diperhatikan. Mari kita mulai dari langkah pertama.
Langkah Pertama, Mencontohkan Sifat amanah
Agar anak-anak memiliki sifat amanah sehingga kelak, insyaAllah, jika menjadi pejabat, mereka tidak akan tergoda untuk korupsi, maka langkah pertama yang harus dilakukan oleh orang tua adalah mencontohkan sifat amanah. Siapa yang harus memberi contoh? Tentu orang tuanya.
Bagaimana mungkin orang tua bisa mengajarkan anak sifat amanah jika dirinya sendiri tidak amanah? Bagaimana seorang ibu memotivasi anak perempuannya untuk menutup aurat dan memakai jilbab jika ibunya sendiri tidak berjilbab?
Jika kita ingin anak-anak kita menjadi baik, maka mulailah dari orang tua. Sebab, anak adalah peniru ulung. Anak akan meniru apa yang dilakukan orang tuanya, baik itu hal baik maupun buruk.
Misalnya, jika ada anak yang terus-menerus bermain ponsel tanpa mengenal waktu—saat waktu shalat, tidur, atau mengaji—siapa yang menjadi contoh bagi anak tersebut? Kemungkinan besar, anak itu meniru kebiasaan salah satu atau bahkan kedua orang tuanya.
Maka, orang tua memiliki tanggung jawab moral yang besar. Jika ingin anak-anak menjadi shalih, ayah harus menjadi sosok yang shalih, dan ibu harus menjadi sosok yang shalihah.
Kembali kepada sifat amanah, jika kita ingin anak-anak memiliki sifat mulia ini, maka orang tua juga harus bersikap amanah. Dalam hal apa? Dalam semua aspek kehidupan. Sebab, sifat amanah sangat diperlukan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia.
Contoh amanah dalam urusan harta
Salah satu contoh amanah adalah dalam urusan harta. Misalnya, tetangga yang akan bepergian menitipkan barang-barang berharganya kepada kita. Barang yang dititipkan bisa berupa uang, motor, perhiasan, atau bahkan hewan peliharaan seperti ayam, kucing, atau ikan di kolam.
Jika seseorang menitipkan ayam, lalu memberi pesan, “Pak, selama saya bepergian, tolong ayamnya diberi makan. Ini pakannya,” atau menitipkan ikan dengan pesan serupa, “Ini peletnya, jangan sampai lupa,” maka kewajiban kita adalah menunaikan amanah itu dengan baik.
Contoh lain, jika seorang ibu dititipi perhiasan oleh tetangganya—gelang, kalung, cincin, atau anting—bolehkah perhiasan itu digunakan? Tentu tidak. Apalagi jika digunakan hanya untuk berfoto atau swafoto. Hal itu termasuk melanggar amanah, kecuali jika pemilik barang memberikan izin, misalnya dengan berkata, “Ini perhiasan saya, silakan dipakai selama saya pergi, asalkan dijaga dengan baik.”
Begitu pula dengan motor atau mobil. Jika pemilik barang berkata, “Saya titip motor, silakan dipakai selama saya tidak ada,” maka kita boleh menggunakannya. Namun, jika tidak ada izin seperti itu, barang tersebut tidak boleh digunakan. Semua ini adalah bagian dari menjaga amanah.
Anak-anak akan memperhatikan bagaimana kita menunaikan amanah tersebut. Ketika mereka melihat ayah dan ibunya menjalankan amanah dengan baik—seperti memberi makan hewan titipan atau menjaga barang-barang titipan dengan penuh tanggung jawab—maka mereka akan belajar dan meniru sikap itu.
Demikianlah contoh sikap amanah dalam hal harta. Menunaikan amanah dengan baik tidak hanya mendidik diri kita sendiri, tetapi juga memberikan teladan kepada anak-anak kita.
Contoh amanah dalam urusan waktu
Misalnya, seseorang yang bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), baik sebagai pegawai kantor maupun guru di sekolah. Dalam hal ini, perlu diperhatikan bagaimana kita memanfaatkan waktu dengan baik, karena anak-anak akan memperhatikan perilaku orang tuanya.
Seorang ASN diberi tugas untuk masuk kantor pukul tujuh pagi, tetapi baru menyalakan motor dari rumah pada waktu yang sama. Jika begitu, kira-kira sampai kantor pukul berapa? Bisa jadi pukul delapan, setengah sembilan, atau lebih lama lagi. Apalagi jika di perjalanan mampir ke warung untuk sarapan sambil ngobrol lama dengan teman.
Ketika waktu pulang kantor adalah pukul tiga sore, tetapi sudah tiba di rumah pukul satu siang, anak-anak akan melihat semua kebiasaan ini. Lama-kelamaan, mereka akan meniru. Saat orang tua menegur anak, “Ayo, Nak, sekolah masuk pukul tujuh pagi,” anak bisa saja menjawab, “Bapak juga sering telat masuk kantor.”
Langkah pertama untuk menanamkan sifat amanah pada anak adalah dengan memberikan teladan. Orang tua harus mencontohkan sifat amanah, baik dalam urusan harta maupun waktu.
Misalnya, tidak korupsi dalam harta atau waktu. Ketika anak melihat orang tuanya setiap hari selalu menjaga amanah, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-hari, maka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, karakter amanah ini akan tertanam pada diri anak.
Orang tua yang konsisten menjaga sifat amanah akan menjadi panutan bagi anak-anaknya, sehingga mereka tumbuh dengan nilai-nilai kebaikan yang kokoh.
Langkah Kedua, Membiasakan Anak Bersifat Aamanah Sejak Dini
Langkah kedua untuk menanamkan sifat amanah pada anak adalah membiasakan mereka bersifat amanah sejak dini. Jangan menunggu sampai mereka dewasa atau kuliah, karena itu sudah terlambat. Anak perlu dididik untuk bersifat amanah sejak kecil.
Caranya:
1. Pahami Makna Amanah
Anak harus diberi pemahaman tentang arti amanah terlebih dahulu. Amanah secara bahasa berarti dapat dipercaya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki julukan Al-Amin, yang artinya “yang dapat dipercaya.” Secara istilah, amanah adalah kepercayaan atau tanggung jawab yang diberikan kepada seseorang untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.
2. Jelaskan Keutamaan Amanah
Setelah memahami arti amanah, anak harus diberi penjelasan mengenai keutamaan sifat amanah. Salah satu keutamaan sifat amanah adalah hubungannya dengan keimanan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ
“Tidak sempurna keimanan seseorang yang tidak memiliki sifat amanah, dan tidak sempurna agama seseorang yang tidak menepati janji.” (HR. Ahmad, dinilai hasan oleh Al-Baghawi dan Syaikh Al-Arnauth).
Jelaskan kepada anak bahwa sifat amanah akan menyempurnakan iman, dan orang yang memiliki iman sempurna akan disayangi oleh Allah. Jika disayangi Allah, permohonannya akan dikabulkan, dan di akhirat ia akan dimasukkan ke dalam surga.
3. Latih Anak Mengemban Amanah
Setelah anak memahami arti dan keutamaan amanah, latih mereka untuk mengemban amanah sejak dini. Latihan dapat dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya: Ketika orang tua pergi menghadiri acara, mereka dapat memberikan amanah kepada anak, seperti menjaga jemuran. “Nak, nanti kalau jemurannya sudah kering atau kelihatannya mau hujan, tolong angkat jemurannya.” Ini adalah amanah kecil, tetapi melalui tugas-tugas sederhana seperti ini, anak dilatih untuk bertanggung jawab.
Orang tua tidak boleh terlalu bergantung pada asisten rumah tangga atau orang lain untuk mengurus hal-hal kecil. Berikan tugas-tugas yang sesuai agar anak terbiasa bertanggung jawab dan mampu mengemban amanah dengan baik.
Contoh lain dalam melatih anak untuk bersifat amanah adalah dengan memberikan tugas sederhana, seperti ketika merebus air. Misalnya, saat orang tua harus pergi ke warung atau pasar, berikan pesan kepada anak: “Nak, nanti kalau airnya sudah mendidih, kompornya dimatikan, ya.”
Tugas ini mungkin terlihat kecil, tetapi di situ orang tua bisa melihat bagaimana anak menunaikan amanah yang diberikan.
Ketika anak semakin besar, tugas atau amanah yang diberikan pun perlu disesuaikan dengan usianya. Contoh lain, jika seorang kakak memiliki adik yang masih kecil, berikan amanah seperti: “Nak, tolong jaga adikmu saat bermain. Pastikan adik aman.” Ini adalah amanah yang besar. Karena menjaga adik adalah tanggung jawab yang penting. Namun, tugas ini diberikan kepada anak yang sudah cukup umur, misalnya sekitar sepuluh tahun, bukan kepada anak yang baru berusia tiga tahun.
Seiring bertambahnya usia anak, tugas dan tanggung jawab yang diberikan juga perlu ditingkatkan levelnya. Misalnya, anak yang lebih besar dapat diberi amanah menjaga toko, yang memerlukan pemahaman dasar matematika agar tidak terjadi kerugian. Atau, jika keluarga memiliki kebun atau sawah, anak dapat diberi tanggung jawab menjaga hasil panen.
Semua tugas ini adalah bagian dari proses membiasakan anak untuk bersifat amanah, sehingga mereka terbiasa bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan dan usianya.
Langkah Ketiga, Menegur Ketidakamanahan
Langkah ketiga, yang juga merupakan langkah terakhir, adalah menegur ketidakamanahan. Hal ini diambil dari praktik Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Contohnya, ketika disuruh mengangkat jemuran, ternyata anak asyik bermain hingga lupa. Akhirnya, saat kita pulang, jemurannya sudah basah terkena hujan. Atau, anak diberi amanah untuk mematikan kompor, tetapi saat kita kembali, air sudah meluap.
Contoh lain, anak diberi amanah menjaga adiknya. Namun, ketika ditanya, “Adikmu di mana?”, anak menjawab, “Ke mana, ya?” Ternyata adiknya sudah pergi bermain ke rumah tetangga. Ini mungkin tidak terlalu berbahaya jika lingkungannya aman, tetapi jika ada kolam atau sumur yang berbahaya, situasinya bisa sangat mengkhawatirkan.
Ketika anak tidak menjalankan amanah dengan baik, orang tua yang bijak tidak boleh membiarkan hal tersebut tanpa teguran. Karena pembiaran akan membuat anak terbiasa melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Jika kesalahan anak dibiarkan begitu saja, itu dapat menjadi kebiasaan buruk.
Namun, teguran harus dilakukan dengan cara yang baik. Hindari cara-cara yang kasar, seperti memaksa anak memakai baju basah selama 24 jam atau mengurungnya di kamar mandi. Itu bukanlah pendekatan yang baik. Sebaliknya, tegurlah dengan bahasa yang lembut. Jika kesalahan terus berulang, bisa diberikan konsekuensi yang mendidik, seperti mengurangi jatah uang jajannya.
Hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika melihat ada anak yang tidak amanah, beliau menegur dengan cara yang baik, meskipun anak tersebut masih kecil. Salah satu contohnya terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Sunni dalam kitabnya. Imam Al-Mizzi menyebutkan bahwa hadis ini berpotensi memiliki kriteria shahih.
Abdullah bin Busr Radhiyallahu ‘Anhu, bercerita: “Pada suatu hari, ibuku pernah memintaku untuk mengantarkan setandan anggur kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Ini adalah bentuk tanggung jawab atau amanah. Mungkin saja anggur tersebut hasil panen. Seperti dalam kehidupan sehari-hari kita, misalnya, kita meminta anak untuk mengantar oleh-oleh kepada tetangga.
Abdullah bin Busr Radhiyallahu ‘Anhu, melanjutkan: “Namun aku memakan sebagian anggur tersebut sebelum kuberikan kepada beliau. Setibanya aku di hadapan beliau, beliau menjewer telingaku sembari bersabda, “Wahai anak yang tidak menunaikan amanah.”
Meskipun Abdullah bin Busr masih kecil, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap menegurnya ketika bersikap kurang amanah. Namun, teguran tersebut tidak dilakukan dengan kasar. Beliau hanya menjewer telinganya secara ringan dan menegurnya secara lisan.
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Download mp3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54776-menanamkan-sifat-amanah-pada-anak/